November 14, 2011

Erlinda Sukmasari Wasito

lahir : 1993

Indonesia Tukang Jiplak? (Kesalahpahaman Klaim Budaya, Hak Cipta, dan Paten)

HL | 07 July 2010 | 04:55 872 78 5 dari 7 Kompasianer menilai Menarik

Perseteruan Indonesia dan Malaysia (tidak tepat juga saya sebut seteru, tapi keluar juga sih kalimat “Ganyang Malaysia”) nampaknya perlu dipikir ulang. Ada kesalahpahaman disini. Dan fakta yang sangat lucu untuk ukuran saya bahwa Indonesia pun senang jiplak - jiplakan tapi negara yang dijiplak tidak protes bikin saya manggut - manggut sambil ngakak. Semoga bermanfaat untuk anda, untuk menghela napas sejenak.

tari pendet

tari pendet

Masih membekas dalam ingatan ketika Malaysia mengklaim tari pendet. Kesalahpahaman berlanjut tatkala media sibuk menggiring opini publik mengenai perlunya mematenkan produk budaya nasional di lembaga internasional. Bola panas menggelinding, hujan caci maki tumpah ruah untuk Malaysia. Terpikirkah anda bahwa Indonesia tukang jiplak pula?

Mari kita telisik lebih dalam mengenai paten produk budaya.

1.Paten adalah perlindungan hukum untuk teknologi atau proses teknologi, bukan produk seni budaya.

2.Tak ada lembaga internasional yang menerima pendaftaran hak cipta atau paten lalu melakukan tugas pengawasan.

3.Gembar gembor media yang salah kaprah membangun opini bahwa seni budaya dapat dipatenkan.

(sumber : “Salah Kaprah Paten Budaya”, Arif Havas Oegroseno, 9 Oktober 2009)

Paten tidak memiliki sangkut paut dengan budaya. Dalam prinsip hukum tingkat nasional dan internasional, hak cipta adalah p0erlindungan untuk ciptaan seni budaya dan ilmu pengetahuan. Sementara paten adalah perlindungan atas penemuan di bidang teknologi dan proses teknologi.

wayang kulit

wayang kulit

Pada dasarnya, seni budaya saling mempengaruhi satu sama lain. Hampir tidak ada karya murni. Anda pasti ingat lagu “Rasa Sayange”. Apakah anda merasa rasa nasionalisme anda terusik akibat klaim (penggunaan sepihak) Malaysia? Kita perlu mematut diri di depan cermin. Tahukah anda, Indonesia menjiplak “Rasa Sayange” dari India? Kesadaran India bahwa seni budaya saling mempengaruhi satu sama lain membuat negara itu legowo dan tidak perlu repot - repot mengumpat Indonesia. Rabindranath Taghore (Letter From Java) menyatakan kebanggan sekaligus keharuannya atas pelestarian budaya India di pulau Jawa, Indonesia. UNESCO bahkan menyebut, “Wayang stories borrow characters from India epics and heroes from Persian tales”. Pengaruh India dalam pewayangan di Jawa merupakan hasil asimilasi budaya ketika penyebaran agama Buddha, jejaknya sudah ada sejak abad 1 M.

Bahasa Indonesia yang ditetapkan sebagai bahasa persatuan merupakan serapan dan campuran dari 30% bahasa Arab, 30% bahasa Eropa (Belanda, Portugis, Inggris) dan 40% bahasa Melayu. Ketika ramai diperbincangkan mengenai lagu kebangsaan Malaysia, “Negaraku” menggunakan nada lagu “Terang Boelan” yang rekamannya disimpan di Lokananta (1962) sebetulnya Malaysia telah mengakui itu dalam majalah Musika terbitan 1957. Konyolnya, pencipta asli “Terang Boelan” adalah seorang Prancis bernama Pierre Jean de Bѐranger (Het Nationale Volkslied).

nyam nyam pempek

nyam nyam pempek

Masyarakat Palembang minta pempek dipatenkan? Tunggu dulu. Pempek berasal dari Kunming, China. Congklak sendiri bersala dari Afrika, 5000 tahun yang lalu. Kesenian tradisional katrilli (Manado) berasal dari kata quadrille (Prancis). Kereta Sado (batavia) berasal dari kata Dos ά dos (Prancis) yang bermakna duduk saling memunggungi.

“Kulihat Ibu Pertiwi”, lagu yang saya sukai saat masih TK, adalah milik (kalau saya tidak sebut contekan habis - habisan atau nyolong seperti kata Remy Sylado) adalah milik lagu gereja “What A Friend We Have A Jesus” tahun 1876. lirik di bagian depan sesuai dengan lagu Prancis ciptaan Rouget dan Lisle, pernah pula digunakan Beatles.

Pada 1971 Mabes TNI AD memberi penghargaan atas kiprah Ismail Marzuki, karyanya “Auld Lang Syne” aslinya lagu tradisional Skotlandia tahun 1979. “Panon Hideung” adalah lagu tradisional Rusia, masuk hak cipta 1926. “Halo - Halo Bandung” bukan ciptaan Ismail Marzuki namun nyanyian seorang tentara, Lumban Tobing. “Kopi Dangdut” yang kemarin saya dengar di televisi berasal dari Spanyol, oleh Mulliendo Caffe pada 1960.

Indonesia berusaha melindungi Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya (SDGPTEBT) Tradisional melalui pembahasan dalam forum bergengsi dan berpengaruh World Intelectual Property Organization yang melindungi SDGPTEBT secara internasional.. Negara berkembang mengajukan international legally binding instrument namun ditolak negara maju. Selain itu Indonesia sibuk mencatat seni budaya nusantara untuk dimasukkan dalam database nasional. Senadainya Indonesia meminta royalti pada Malaysia untuk penggunaan seni budaya Indonesia, dalam kurun waktu 50 tahun sejak penciptaan.

Sumber: Seminar dan Dialog Perlindungan Warisan Budaya : “Siapa Menjiplak Siapa”, 23 Juni 2010 prakarsa Direktorat Jenderal Hukum Dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri dan Kongres Wanita Indonesia

Tulisan ini sudah diedit, awalnya saya ingin memasang judul lebih “keras” tapi dua orang teman memperingatkan kalau saya dibui. Entahlah. Seseorang menyebutkan, “Pantas rame ya, tukang fotocopy ama penjual Cd bajakan,” dan materi tulisan saya untuk pertama kalinya merupaka hasil debat tak - tertuntaskan dengan ibu saya. “Maksih ma!” Ini pertama kalinya beliau tahu isi tulisan saya.


source : http://sosbud.kompasiana.com/2010/07/07/indonesia-tukang-jiplak-kesalahpahaman-klaim-budaya-hak-cipta-dan-paten/

No comments:

Post a Comment